Semoga Allah menjadikan pertemuan ini, pertemuan yang diberkahi, mendorong penyebaran ilmu yang murni, penyebaran Kitabullah dan Sunnah Rasulullah dan manhaj Salafush Shalih, generasi yang datang setelah Nabi, dan membawa agama ini dengan amanah, antusias dan ketegaran.
Topik pembicaraan kami, (ialah) seputar fitnah ghuluw dalam takfir, bahayanya terhadap umat dan pengaruh destruktifnya di masyarakat lokal maupun internasional.
Definisi Takfir, yaitu memvonis atau mensifati seseorang dengan kekafiran, atau mensifatinya dengan hukum kafir ; baik dengan alasan yang benar ataupun tidak. Karena itu, saya tegaskan bahwa takfir merupakan hukum syar’i. Ia merupakan wewenang Allah dan RasulNya. Tidak boleh kita meniadakan atau menolaknya. Sebab, takfir merupakan hukum syar’i ; ada orang yang bisa dikafirkan (dan) ada juga yang terjerumus dalam perbuatan takfir.
Tetapi masalahnya bukan pada persoalan di atas, namun terletak pada sikap ekstrim dalam takfir (mengkafirkan) dan mengeluarkan takfir itu dari kaidah yang telah ditetapkan Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Karena itu, ada orang yang boleh dikafirkan, ada juga yang tidak boleh untuk dikafirkan. Dalam permasalahan ini, Ahlus Sunnah bersikap tengah-tengah antara dua golongan. Golongan yang mengabaikan hak Allah Azza wa Jalla dalam masalah takfir ini, dengan golongan ekstrim yang menempatkan takfir bukan pada porsinya.
Ulama mengklasifikasikan kekufuran menjadi dua katagori :
Pertama : Kufur akbar yang mengeluarkan (manusia) dari Islam.
Kedua : Kufur ashgar, tidak mengeluarkan dari Islam, meskipun diistilahkan kufur.
Dalam masalah pembagian kufur ini, ada keterangan paling mewakili, yaitu yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnul Qayim dalam kitabnya yang agung Ash-Shalah. Beliau menuturkan, kufur terbagi (menjadi) dua jenis :
Kufur yang mengeluarkan dari agama. Beliau rahimahullah menerangkan kufur ini berlawanan dengan iman dalam semua aspek. Maksudnya, ketika ada seseorang yang melakukannya, maka imannya akan hilang. Misalnya mencaci Allah Azza wa Jalla, memaki Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersujud kepada kuburan dan patung, melemparkan mushaf ke tempat kotor, atau contoh-contoh serupa lainnya yang telah dipaparkan para ulama. Orang yang terjerumus dalam perbuatan-perbuatan ini dihukumi sebagai kafir. Hujjah harus ditegakkan kepadanya (artinya, ia harus diingatkan dengan hujjah,-red), sampai syarat-syarat takfir terpenuhi dan segala penghalang kekafiran hilang. Jika hujjah sudah ditegakkan kepadanya oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk itu atau oleh wakilnya, sedangkan ia tetap menolak, maka baru divonis sebagai kafir.
Jenis yang kedua, kufur yang tidak mengeluarkan dari agama. Namun syari’at Islam menyebutkannya sebagai tindakan kekufuran, seperti perbuatan-perbuatan maksiat. Contohnya termaktub dalam beberapa hadits.
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِِتَالُهُ كُفْرٌ.
“Mencaci orang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kufur”[1]
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa bersumpah dengan menyebut nama selain Allah, maka ia kafir atau musyrik”[2]
لاَ تَرْجِعُوْا بَعْدِيْ كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُم رِقَابَ بَعْضٍ.ٍ
“Janganlah kalian menjadi kafir sepeninggalku, yaitu sebagian kalian membunuh yang lain”[3]
Begitu juga, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang orang yang meninggalkan shalat dengan sebutan kufur.
Demikian pula firman Allah Azza wa Jalla.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia termasuk orang-orang yang kafir” [al-Ma’idah/5:44]
Ini adalah contoh-contoh kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari agama, dengan syarat tidak menganggapnya sebagai perbuatan yang halal. Jika meyakini perbuatan maksiat ini halal, maka ia telah keluar dari Islam, murtad dan menjadi kafir. Ini adalah istihlal qalbi (penghalalan secara hati).
Berikutnya, pembicaraan kita tentang masalah ini, yaitu tentang orang-orang yang berlebih-lebihan dalam takfir, menjadikan perbuatan yang tidak mengeluarkan dari agama, sebagai perkara yang mengeluarkan dari Islam. Dari sinilah fitnah terjadi. Dan ini merupakan fitnah pertama yang terjadi dalam Islam, di tangan-tangan orang Khawarij yang dinyatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai anjing-anjing neraka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih.
Pada waktu itu, pembesar mereka menantang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi rampasan perang di Hunain dengan memberikannya kepada orang-orang yang muallaf dan tidak memberikan kepadanya sedikitpun. Pemimpin mereka itu mengatakan : “Bersikap adil-lah, wahai Muhammad! Sesungguhnya pembagian yang engkau lakukan ini tidak dimaksudkan untuk mencari wajah Allah”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Celaka engkau. Siapa lagi yang akan berbuat adil kalau aku tidak berbuat adil? Sesungguhnya aku orang yang paling mengenal Allah dan paling bertakwa kepadaNya”[4]
Dari sikap yang ditunjukan oleh laki-laki penentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, terlihat dengan jelas faktor-faktor yang mendorong mereka ke dalam sikap takfir (mengkafirkan orang).
Mereka menjadikan himpitan sosial, politik atau ekonomi sebagai sarana untuk keluar dari prinsip-prinsip pemahaman Islam dan memberontak kepada penguasa kaum Muslimin.
Kelancangan mereka terhadap Waliyul Amr. Kelancangan itu ditunjukkan oleh pimpinan mereka terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam sebuah hadits shahih dalam Musnad (disebutkan). “Suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati orang ini dalam keadaan sujud. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghampiri para sahabatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Siapa yang mau membunuhnya ?” Abu Bakar Radhiyallahu anhu mengiyakan, lalu bangkit dengan pedang terhunus. Kemudian beliau menghampiri orang itu, mendapatinya sedang sujud. Maka Abu Bakar Radhiyallahu anhu kembali (tidak membunuhnya) seraya berkata :”Ya Rasulullah, bagaimana aku membunuh orang yang mengucapkan Laa illaha illa Allah?”. Demikian juga yang dilakukan Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu. Kemudian Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menyanggupinya, beliau bergegas ke sana, tapi orang tersebut sudah tidak ada lagi. Kemudian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seandainya ia berhasil dibunuh, tentu tidak akan ada lagi dua orang yang berselisih di antara umatku”.
Jadi, benih-benih takfir tumbuh dari golongan Khawarij, dan ini merupakan fitnah yang pertama kali terjadi dalam Islam, dan akan terus berlangsung sampai akhirnya Dajjal bergabung dengan pasukan mereka.
Apa yang diperingatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terjadi. Fitnah Khawarij merangsek. Dan hasil pertama yang menjadi akibatnya, ialah yang dialami oleh Khalifah ketiga Utsman bin Affan asy-Syahid yang mendapat jaminan Surga. Orang-orang Khawarij dengan provokasi dari Yahudi, memberontak kepadanya dan berhasil mengepung, dan membunuh Khalifah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu. Kemudian mereka memobilisasi pasukannya untuk memberontak kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi Ali bin Thalib Radhiyallahu anhu memerangi, membunuh dan menghabisi mereka sampai akarnya. Sedikit pun tidak tersisa, kecuali sembilan orang saja, sebagaimana dipaparkan dalam buku-buku sejarah. Sembilan orang ini menyebar ke seluruh penjuru dunia. Menyebar pula fitnah Khawarij bersama mereka, membawa pemikiran takfir, penumpahan darah dan pembunuhan. Sungguh benar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka adalah duri dalam Islam. Mereka tidak mengusik orang-orang kafir, tetapi justru memerangi umat Islam.
Demikianlah, fitnah ini menghasilkan pertumpahan darah, mencederai kehormatan serta perusakan. Dan ini terjadi di negeri-negeri Islam.
Fitnah ini akan berlangsung terus sebagaimana dikabarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma dalam sunan Ibnu Majah (disebutkan) : “Akan tumbuh generasi yang membaca Al-Qur’an. Ketika sebuah generasi habis, maka akan datang generasi berikutnya sampai datang di tengah-tengah mereka Dajjal”. Mereka adalah Khawarij. Setiap kali pupus satu generasi, akan tumbuh generasi baru. Demikian seterusnya hingga muncul Dajjal ditengah pasukan mereka yang dimobilisasi untuk melawan kaum muslimin. Mereka adalah para pengikut Dajjal. Dajjal yang menyebarkan kerusakan dimuka bumi, dari barat sampai timur, dari utara sampai selatan. Orang-orang Khawarij ini adalah tentara Dajjal di akhir zaman, mereka mendukung kekuasaan Dajjal dan mendukung kerusakan yang dilakukan Dajjal. Wal’iyyadzu billah Tabaraka wa Ta’ala.
Inilah yang kita lihat di lapangan. Munculnya jama’ah-jama’ah takfir dan menodongkan senjata mereka kehadapan umat Islam. Hasilnya, (ialah) pemboman, perusakan, pembunuhan dan pengusiran penduduk.
Peristiwa ini juga terjadi dihadapan anda. Lihat misalnya, apa yang terjadi beberapa tahun silam ketika muncul golongan ekstrimis di Aljazair. Mereka melakukan pembunuhan, perusakan-perusakan dan penodaan terhadap kehormatan dengan dalih Islam di bawah panji jihad, atau dalih melawan himpitan politik dan seabreg dalih besar lainnya. Sebenarnya mereka pernah bertanya kepada para ulama. Dan ulamapun telah memberikan nasihat kepada mereka. Namun mereka menutup telinga dan tetap keras kepala.
Fitnah mereka mulai terjadi tahun 90-an hingga kini. Hasil yang diakibatkannya adalah, setengah juta orang Islam terbunuh. Setengah juta orang terbunuh hanya dalam waktu sepuluh tahun, di tangan orang yang mengaku dirinya muslim, mengaku berbuat untuk Islam dan mengaku bahwa mereka berjihad di jalan Allah.
Sementara, negeri Islam Aljazair, ketika melancarkan perang kemerdekaannya melawan penjajah Perancis selama seratus tiga puluh tahun, hanya mengorbankan satu juta syahid. Apabila korban di tangan orang Islam saja mencapai setengah juta jiwa dalam waktu sepuluh tahun, bagaimana jika fitnah ini berlangsung selama seratus tiga puluh tahun ? Berapa korban yang akan jatuh ? Maka akan menghabisi masyarakat muslim di sana!
Sebelumnya di Suriah (th 1982), juga ada kelompok ekstrim yang memberontak dengan semboyan-semboyan membahana dan slogan-slogan besar. Maka terjadilah apa yang terjadi, pembunuhan, pengusiran penduduk, dan pengeboman. Bahkan ada sebuah kota, yaitu kota Hamah, total hancur-lebur disebabkan oleh ulah mereka, dengan menelan korban tewas empat puluh ribu jiwa dari penduduknya.
Itulah ulah mereka, penyembelihan, perusakan, peledakan, dan teror terhadap masyarakat yang terusik rasa amannya. Di sana-sini ada ranjau darat, bom mobil, granat dan pembunuhan-pembunuhan misterius. Akan tetapi kemanapun mereka pergi, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla senantiasa mengawasi!
Tidak ada satu jengkal negeri kaum muslimin-pun yang selamat dari fitnah ini. Dan negeri ini (Indonesia), negeri Islam yang penduduknya paling banyak di antara negeri-negeri Islam lainnya, juga tidak selamat dari ulah mereka, dari perusakan mereka, dari pemboman mereka dan dari teror mereka.
Hal ini, atau beberapa hari sebelumnya, juga terjadi di negara Haramain (Saudi Arabia). Semoga Allah menjaganya dan menjaga seluruh negara Islam dari ulah tangan para perusak itu. Dan semoga Allah Azza wa Jalla membasmi mereka. Setiap negeri kaum muslimin, senantiasa terancam dengan keberadaan mereka.
Karena itu, kita wajib berhati-hati terhadap bahaya pemikiran takfir ini. Pemikiran yang secara lahir kelihatan indah, tetapi sebaliknya menyimpan kebusukan. Ada banyak sebab mengapa hal itu terjadi. Namun akan saya sebutkan secara garis besar pada tiga sebab.
Semangat keagamaan yang ada pada para pemuda, namun disertai kebodohan terhadap syari’at dan terhadap maksud-maksud agama.
Semangat buta ini dimanfaatkan oleh para hizbiyyin dan harakiyyin, terutama yang terpengaruh pemikiran Sayyid Qutb dan Muhammad Qutb. Sesungguhnya kelompok-kelompok ghuluw dan jama’ah-jama’ah takfir lahir karena terinspirasi oleh buku-buku mereka berdua, sebagaimana pengakuan tokoh besar mereka. Kelompok-kelompok itu memanfaatkan semangat para pemuda yang bodoh ini dengan mengarahkan mereka untuk mengkafirkan para penguasanya, mengkafirkan negerinya dan mengkafirkan umatnya sehingga mereka menjadi perusak dan menjadi bencana bagi negeri mereka.
Ditambah lagi, ada tangan-tangan tersembunyi serta pihak-pihak yang mempunyai kaitan dengan orang-orang kafir, mengail di air keruh, ikut memanfaatkan kebodohan ini, kemudian mengarahkannya untuk mengadakan kerusakan, penghancuran dan menimbulkan kekacauan di negerinya kaum muslimin. Semua itu diatasnamakan Islam, padahal Islam berlepas diri dari itu semua. As-Salafiyah juga berlepas diri dari itu semua.
Islam adalah agama yang menjunjung keamanan, kesentausaan, dan ketentraman, Islam mempersatukan kata dan hubungan. Sedangkan Salafiyah adalah dakwah menuju Kitab Allah, Sunnah Rasulullah dan manhaj Salaf. Maka dakwah Salafiyah sangat memperhatikan keamanan kaum muslimin dan sangat memperhatikan keamanan negeri kaum muslimin, seperti halnya dakwah Salafiyah juga sangat memperhatikan keamanan kaum muslimin serta bersemangat untuk mempersatukan bahasa serta negeri kaum muslimin. Karena itu, kita wajib merujuk kepada ulama besar kita.
Dalam masalah-masalah krusial, kita harus bertanya kepada ulama-ulama besar, tidak boleh bertanya kepada ulama kecil. Masalah-masalah besar hanya bisa dijawab oleh ulama-ulama besar. Dahulu ulama besar yang telah wafat seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Utsaimin pernah mengeluarkan fatwa untuk para pemuda, bahwa kegiatan-kegiatan (merusak) itu adalah tidak syar’i, tidak boleh dikerjakan oleh para pemuda dan para pemuda harus mempelajari agamanya serta berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para pemuda harus duduk disekeliling ulama supaya bahasa dan barisannya bisa bersatu. Semantara para musuh, baik dari dalam maupun dari luar tidak mampu mengusik barisan kita.
Saya berdoa agar Allah Azza wa Jalla mempersatukan kita, menolong kita untuk menghadapi musuh, dan agar Allah Azza wa Jalla menjadikan izzah terlimpah bagi Islam, kaum muslimin dan siapa saja yang membela Islam. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk melakukan itu semua.
(Liputan khusus ceramah Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilali di Masjid Istiqlal Jakarta, 5 Desember 2004 )
_______
Footnote
[1] Hadits Riwayat Bukhari No. 48, Muslim No. 64
[2] Hadits Riwayat Tirmidzi
[3] Hadits Riwayat Bukhari No. 121. Muslim No. 65
[4] Hadits Riwayat Bukhari
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425H/2005.]